PERLU UPAYA SISTEMATIS DALAM MELINDUNGI GENERASI DARI BAHAYA NARKOBA
Ditulis Oleh : Lilis Suryani – Guru dan Pegiat Literasi
Generasi saat ini adalah pemimpin masa depan, sementara apa yang akan terjadi di masa depan sedikitnya tentu akan bergantung penyiapan di masa kini. Untuk itu upaya penyiapan generasi masa kini agar bisa mengisi peradaban di masa yang akan datang mutlak harus dilakukan.
Namun, miris dengan yang terjadi, saat membaca berita di salah satu media online yang menyatakan bahwa Kejaksaan Tinggi alias Kejati Jawa Barat mencatat perkara penyalahgunaan narkotika sebanyak 2.439 sepanjang tahun 2022.
Ironisnya, perkara tersebut menjadi perkara pidana umum yang paling banyak ditangani di Jawa Barat sepanjang tahun 2022.
Diakui atau tidak peredaran narkoba hingga kini terus terjadi dan seperti sulit untuk dihentikan. Berdasarkan data BNN sendiri, terus masuknya narkoba di tanah air sebagai akibat struktur perdagangan narkoba di Indonesia yang menarik bagi sindikat narkoba internasional.
Hal ini disebabkan, barang haram ini bisa dijual dengan harga tinggi dibandingkan di beberapa negara lain. Sebut saja, harga narkotika jenis sabu-sabu di Cina pada tahun lalu hanya berkisar Rp20.000 dan di Iran berkisar pada Rp50.000. Namun di Indonesia, harga jual sabu-sabu dapat mencapai angka Rp1,5 juta/gram!
Selain itu, jumlah penduduk di tanah air khususnya Jawa Barat terbilang cukup besar serta wilayahnya yang luas dan terbuka. Hal ini yang menjadikan Jawa Barat sebagai pangsa pasar yang menggiurkan.
Sebagaimana diketahui bahwa narkoba secara perlahan bekerja merusak sistem saraf dengan level ringan hingga permanen, mulai dari sakau, kebutaan, hingga menyebabkan kematian. Narkoba dapat memengaruhi kerja otak sehingga zat tersebut mampu mengubah suasana perasaan, cara berpikir, kesadaran, dan perilaku pemakainya.
Gangguan saraf yang ditimbulkan pun dapat berupa gangguan saraf sensoris, motorik, otonom, dan vegetatif. Dapat dibayangkan apabila gangguan tersebut terjadi kepada pemuda, tentu masa depan generasi akan terancam.
Disisi lain, tatanan kehidupan saat ini yang sekuler kapitalistik, tidak jarang membuat pemuda menjadi pribadi yang labil dan kurang iman. Ini karena sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) melahirkan berbagai ide turunan, seperti kebebasan bertingkah laku. Ide ini membuat pemuda menjadi sulit diatur.
Hal yang lebih memprihatinkan, adanya stigma terhadap upaya perbaikan dan pembinaan remaja dengan pemahaman Islam. Kegiatan-kegiatan keislaman remaja malah dituding sebagai kegiatan radikalisme. Dengan berpegang pada prinsip yang salah tersebut, maka digencarkan program deradikalisasi bagi generasi Z dan milenial.
Ironisnya, deradikalisasi yang masif menyebabkan mewabahnya islamofobia. Kondisi ini menjadikan keluarga dan remaja yang ada di dalamnya dijauhkan dari nilai-nilai agama. Efeknya, mereka takut mendekati masjid, apalagi harus ikut kajian keislaman. Padahal, ilmu agama dan kekuatan iman adalah benteng yang akan menjaga remaja dari pengaruh negatif lingkungan, termasuk narkoba.
Di lain pihak, upaya pemberantasan narkoba begitu karut-marut. Sering kita dengar di pemberitaan media terkait aparat yang menjual barang bukti narkoba. Sungguh, kapitalisme telah berhasil memalingkan pihak-pihak yang seharusnya ada di garda terdepan peperangan, menjadi kaki tangan kejahatan dengan iming-iming keuntungan yang sangat menggiurkan.
Pandangan hidup sekuler terbukti turut merusak mental penegak hukum. Berdasarkan hal tersebut, telah nyata kapitalisme menjadi biang keladinya.
Apabila kita telaah dengan saksama, ada penyebab utama gagalnya pemberantasan narkoba, yaitu kesalahan paradigma terhadap masalah narkoba. Kampiun kapitalisme, yakni Amerika Serikat (AS), beserta badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan narkoba dan kejahatan, United Nations Office on Drugs Crimes (UNODC), memandang peredaran narkoba adalah kejahatan, sedangkan penyalahgunaan narkoba sekadar masalah kesehatan.
Mereka berdalih bahwa penyalahgunaan narkoba telah menduduki peringkat ke-20 di dunia sebagai penyebab tingginya angka kematian. Di negara berkembang sendiri, seperti Indonesia, menempati peringkat ke-10.
Mereka juga melihat bahwa pengguna narkoba diketahui sangat rentan dan mudah terjangkit HIV, hepatitis, dan tuberkulosis, yang kemudian dapat menular ke masyarakat umum. Itulah sebabnya para pengguna narkoba disebut sebagai “pasien” yang harus direhabilitasi, bukan sebagai penjahat yang harus dihukum. Kondisi inilah yang menjadikan para pengguna tidak jera untuk terus mengonsumsi narkoba. Sayangnya, prinsip seperti ini diberlakukan pula di wilayah kita.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, narkoba hukumnya haram. Penggunanya menjadi pelaku kejahatan yang akan mendapatkan hukuman yang membuat jera.
Dalil keharamannya sebagaimana firman Allah Taala, “Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS Al-A’raf: 157)
Adapun dalil Sunah adalah hadis riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap yang muskir (memabukkan) adalah khamar, dan setiap yang muskir adalah haram.” (HR Muslim)
Islam pun telah menyiapkan seperangkat aturan paripurna yang akan membuat jera, baik para pengguna narkoba maupun pengedarnya. Oleh karenanya, orang Islam yang bertakwa, secara sadar pasti akan menjauhi narkoba atas dasar pemahaman dan ketaatannya kepada Allah Taala.
Selain itu, dalam sistem Islam, generasi umat benar-benar terjaga. Ini karena negara benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga. Dimensi ruhiah yang lekat dengan kepemimpinan Islam membuat penguasa tidak abai dengan moral rakyatnya. Mereka akan terus memastikan tidak ada satu pun perkara yang akan membahayakan akal, fisik, dan mental mereka.
Bahkan, urusan akhirat rakyatnya juga menjadi perhatian negara. Negara Islam pun menjadi support system lahirnya keluarga dan masyarakat ideal. Fungsi keduanya benar-benar berjalan karena ditopang oleh penerapan sistem hidup yang juga ideal.