MEWUJUDKAN BALDATUN TOYYIBATUN WARROBBUN GHAFUR
Oleh : Lilis Suryani ( Pegiat Literasi, Pengelola Paud Al Jabbar)
Tidak dipungkiri hidup di jaman seperti saat ini, butuh perjuangan yang lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerasnya persaingan di dunia kerja, serta mahalnya biaya hidup membuat sebagian orang rela melakukan profesi apa saja asal dapat mengasilkan pundi-pundi rupiah. Hingga terkadang tidak lagi mengindahkan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pun demikian bagi kaum perempuan yang sudah merasa putus asa dengan kehidupan saat ini, ada yang memilih profesi kelam namun dapat menghasilkan cuan dengan cara yang mudah. Apa lagi jika bukan menjajakan dirinya sendiri kepada para pria hidung belang. Padahal, aktivitas yang dianggap profesi ini beresiko tinggi. Selain buruk menurut norma agama dan sosial, juga nyawalah yang menjadi taruhan bagi para wanita tunasusila ini.
Seperti yang terjadi di Kuningan, berita tewasnya seorang wanita bernama Sri Agustina (42) alias Neng Eci mewarnai sejumlah portal media online. Ia ditemukan tewas ditangan pelanggannya sendiri. Nahasnya, korban dibunuh oleh seorang mahasiswa berinisial FN (19) usai melakukan transaksi seks secara daring atau open Booking Online (BO).
Berdasarkan penelusuran ternyata tidak hanya di Kuningan, ada empat kasus open BO lainnya yang berujung maut di Jawa Barat, dua diantaranya terjadi di Bandung dan dua kasus lagi terjadi di Bekasi serta Subang.
Fenomena ini yang sebenarnya luar biasa ini seolah menjadi hal yang lumrah saja saat ini. Banyaknya berita pembunuhan para wanita tunasusila yang menyambung nyawa demi uang ini sudah sering hilir mudik pada laman-laman media baik online maupun elektronik.
Sungguh fenomena rusak ini besebrangan dengan semangat pembangunan di negeri ini. Belum lagi jika melihat fakta bahwa mayoritas penduduk di negeri ini beragama Islam. Tidak bisa dinafikan bahwa ajaran Islam mewarnai norma dan aturan yang berlaku di masyarakat sampai tatanan kenegaraan.
Adanya fenomena rusak ini mengindikasikan bahwa secara akidah atau keyakinan terhadap Sang Pencipta yang telah melarang perbuatan demikian begitu rapuh. Menjamurnya bisnis ecek-ecek ini menkonfirmasi bahwa masyarakat tengah sakit secara moral dan spiritual.
Jika menilik pandangan Islam berkaitan dengan pekerjaan, maka tentu harus memperhatikan halal dan haram. Pekerjaan yang menurut Syariat dilarang maka tidak boleh kita melakukannya sekalipun menghasilkan uang yang besar. Karena hal-hal yang dilarang di dalam ajaran agama sudah tentu adalah hal-hal yang merugikan untuk kita sendiri.
Terlebih untuk kaum perempuan, syariat Islam memuliakannya dengan tidak membebankan nafkah pada dirinya melainkan pada suaminya. Jika kaum laki-laki saja yang sudah jelas memiliki kewajiban untuk mencari nafkah mesti memilih pekerjaan sesuai dengan tuntunan syariat, apalagi kaum perempuan.
Fenomena rusak yang membakar di masyarakat menjadi bukti bahwa sistem Sekularisme-Liberal yang menjadi arah pandang bangsa ini telah gagal dalam mewujudka tujuan bernegara yaitu salah satunya melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan rakyat. Faktanya justru negara abai terhadap pengurusan aqidah hingga kebutuhan hidup rakyatnya.
Apalagi menggapai cita-cita seperti para ulama negeri ini impikan yaitu “Baldatun Toyyibatun Warrobbun Ghafur” yang mempunyai arti “Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun”.
Maksudnya adalah negeri yang terdapat banyak kebaikan alam dan kebaikan manusianya. Suatu negeri yang subur makmur namun penduduknya tidak lupa bersyukur.
Sejatinya untuk meraih hal yang demikian membutuhkan penerapan sistem yang sempurna yaitu negara yang berlandaskan pada aturan Islam secara Kaffah. Untuk mewujudkannya butuh 3 pilar Islam yaitu individu yang bertaqwa, masyarakat yang berdakwah dan negara yang bersyariat.
Selain itu, benar dan tidaknya serta unggul dan rendahnya masyarakat sangat bergantung pada pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka. Jika pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka adalah pemikiran dan sistem yang benar dan unggul maka masyarakat tersebut adalah masyarakat yang benar dan unggul. Sebaliknya, jika pemikiran dan sistem yang menyatukan mereka rusak dan rendah maka masyarakat tersebut menjadi rusak dan rendah.
Sekadar berkumpulnya manusia dengan manusia lainnya tidak dapat membentuk sebuah msyarakat. Mereka hanya akan menjadi perkumpulan belaka. Jika di antara mereka telah terjadi interaksi untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak berbagai mafsadat, interaksi inilah yang menjadikan mereka sebuah masyarakat.
Namun, tidak akan menjadi sebuah masyarakat yang satu kecuali dengan satunya pandangan mereka terhadap interaksi tersebut. Hal ini hanya akan terjadi bila pemikiran mereka, perasaan mereka dan sistem mereka satu ikatan.
Di dalam kitab Syirah Nabawiyah karya Ibunu Hisyam halaman 147, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, Nabi saw. membuat satu surat perjanjian antara kaum Anshar dan Muhajirin. Di dalam surat itu Nabi saw. mengawali surat perjanjian itu sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat (perjanjian) dari Muhammad, sang Nabi saw., antara orang-orang Mukmin Muslim dari Quaraisy dan Yatsrib (Madinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka sehingga menyusul mereka dan berperang bersama mereka, bahwa: Mereka adalah umat yang satu, (sedangkan) orang-orang yang lain tidak masuk ke dalam bagian mereka”.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa Nabi saw. tidak pernah membuat ikatan di antara masyarakat Islam kecuali dengan ikatan Islam, yaitu ikatan ‘aqidah ‘aqliyyah (akidah yang berlandaskan pada proses berpikir rasional) yang akhirnya melahirkan sistem.
Nabi Muhammad SAW merupakan tauladan yang mesti kita ikuti semua gerak dan langkahnya. Tidak hanya meneladani secara kepribadiannya saja namun juga meneladaninya sebagi sosok negarawan pembangunan peradaban masyarakat gemilang. Maka kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat menjadi sebuah keniscayaan, disertai masyarakat yang bermoral dan beretika yang luhur.